Sabtu, 08 November 2008

eutanasia

BAB I
PENDAHULUAN

Setiap makhluk hidup, termasuk manusia akan mengalami siklus kehidupan yang dimulai dari proses pembuahan, kelahiran, kehidupan di dunia dengan berbagai permasalahannya, dan diakhiri dengan kematian. Dari berbagai siklus kehidupan di atas, kematian merupakan salah satu yang masih menjadi misteri dan sampai saat ini belum ada satupun ilmu pengetahuan yang mampu menguak misteri tersebut. sesungguhnya kematian sudah pasti terjadi, akan tetapi tidak pernah diketahui dengan tepat kapan kita akan mengalaninya. Satu satunya jawaban tersedia di dalam ajaran agama bahwa kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia yang merupakan hak dari Allah swt, Tidak ada seorangpun yang berhak untuk menunda atau mempercepat sedetikpun waktu kematian.
Masalah penentuan saat kematian sangat penting bagi pengambilan keputusan baik oleh tenaga kesehatan, dokter maupun keluarga klien dalam kelanjutan pemberian tindakan pengobatan. Apakah pengobatan dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil tetapi yang jelas akan menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa kefase kematian. Penghentian tindakan pengobatan ini merupakan salah satu bentuk dari euthanasia. Di sebagian negara-negara maju yang bersistem liberalis dan berpaham sekunder dengan beranggapan bahwa manusia mempunyai hak untuk menentukan kematiannya sendiri (euthanasia), bilamana dokter memutuskan bahwa seorang pasien sudah tidak ada harapan untuk hidup. Euthanasia telah dilegalkan secara khusus dan tertulis di Belanda, disertai dengan syarat-syarat tertentu.
Pesatnya perkembangan teknologi dan sebagai bagian dari kemajuan teknologi tersebut, memungkinkan tenaga kesehatan untuk memprediksi status kesehatan seorang klien dengan lebih tepat. Hal ini dapat menimbulkan sejumlah masalah yang pelik dan rumit bagi perkembangan dunia kesehatan ditinjau dari sudut pandang medis-etis-yuridis-religi. Masalah yang dimaksud, antara lain: transplantasi organ manusia, inseminasi artificial, sterilisasi, bayi tabung, Abortus provocatus/menggugurkan kandungan, dan euthanasia. Dari keenam masalah tersebut di atas maka euthanasia merupakan dilema yang menempatkan tenaga kesehatan pada situasi yang sangat sulit. Dengan informasi teknologi global yang berpengaruh terhadap nilai-nilai budaya, kasus ini merambah ke Indonesia. Permasalahan ini dikaji dengan mengkomparasikan kasus euthanasia dan meninjau pengaturannya di Indonesia yang belum mempunyai peraturan yang khusus dan sampai sekarang masih terus menjadi bahan perdebatan baik para ahli dari komponen agama, medis, etis dan dari sudut pandang hukum pidana (KUHP) belum memperoleh kesepakatan,




















KASUS
Ny. A umur 29 tahun merupakan pasien koma selama 2 bulan di ruang ICU rumahsakit X, setelah Ia mengalami kecelakaan lalulintas kendaraan roda empat pada akhir tahun 2007. Ia dipertahankan hidupnya dengan pemberian alat bantu pernafasan, makanan dan cairan artifisial. Karena itu sang suami yang tidak ingin melihat istrinya lebih lama menderita ditambah lagi dengan biaya yang kian membengkak maka suami Ny.A pun memberanikan diri untuk meminta penetapan izin euthanasia dari Pengadilan Negeri Pusat kota setempat. Suami Ny. A telah mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menghentikan segala tindakkan pengobatan dan pemberian makanan karena keluarga menyatakan tidak ingin melihan Ny. A hidup jika terus dalam keadaan seperti ini.









\





BAB II
PEMBAHASAN
Sejarah Euthanasia
Sekitar tahun 400 sebelum Masehi, yang terkenal dengan sebutan “The Hippocratic Oath” dalam sumpah Hippocrates Bapak Kedokteran Dunia adalah seorang seorang Fisikawan Yunani, dengan jelas mengatakan:“Saya tidak akan memberikan obat mematikan pada siapapun, atau menyarankan hal tersebut pada siapapun.”.
Tahun 1920, terbitnya buku berjudul “Permitting the Destruction of Life not Worthy of Life”. Dalam buku ini, Alfred Hoche, M.D., Dosen Psikologi dari Universtas Freiburg, dan Karl Binding, Dosen Hukum dari Universitas Leipzig, memperdebatkan bahwa seorang pasien yang meminta untuk diakhiri hidupnya harus, dibawah pengawasan ketat, dapat memperolehnya dari seorang pekerja medis. Buku ini men-support euthanasia non-sukarela yang dilakukan oleh Nazi Jerman
Tahun 1935, The Euthanasia Society of England, atau Kelompok Euthanasia Inggris, dibentuk sebagai langkah menyetujui euthanasia dan Tahun 1955, Belanda sebagai negara pertama yang mengeluarkan Undang-Undang yang menyetujui euthanasia, serta diikuti oleh Australia yang melegalkannya di tahun yang sama.
Pada tanggal 1 april 2001, Belanda menjadi negara pertama yang memberlakukan undang-undang baru di dunia. Kali ini mengeluarkannya izin euthanasia. Undang-undang ini membolehkan pasien yang menderita sakit dan tidak mempunyai harapan untuk sembuh meminta euthanasia atau lebih dikenal dengan suntik mati agar terbebas dari penderitaan, setelah melalui prosedur pemeriksaan yang ketat. Dalam undang-undang tersebut dicantumkan hanya pasien yang menderita sakit yang boleh mengajukan permohonan euthanasia dan harus dalam keadaan sadar. Atas pemberlakuan izin ini, Perdana Menteri Wim Kok menepis kritikan bahwa melalui undang-undang ini dokter-dokter Belanda memiliki izin membunuh pasiennya.
Definisi Euthanasia:
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus, terhormat atau gracefully and with dignity, dan thanatos yang berarti mati. Jadi secara etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Jadi sebenarnya secara harafiah, euthanasia tidak bisa diartikan sebagai suatu pembunuhan atau upaya menghilangkan nyawa seseorang.
Menurut Philo (50-20 SM) Di dunia etik kedokteran kata euthanasia diartikan secara harfiah akan memiliki arti “mati baik” dan Di dalam bukunya “ Vita Ceasarum” seorang penulis Yunani bernama Suetonius menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. (Karyadi, 2001). Serta menurut Hilman (2001), euthanasia berarti “pembunuhan tanpa penderitaan” (mercy killing).
Euthanasia Studi Grup dari KNMG Holland (Ikatan Dokter Belanda) menyatakan: Euthanasia adalah perbuatan dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien, dan semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri. Kemudian oleh komisi negara yang dibentuk oleh pemerintah Belanda tahun 1984 yang bernama “Staats Commissie Euthanasia” dirumuskan dalam sebuah definisi: Euthanasia, tindakan mengakhiri hidup seseorang oleh orang lain dengan secara sengaja dan atas permintaan yang bersangkutan kepadanya.

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam (1997) disebutkan, euthanasia adalah tindakan mengakhiri dengan sengaja kehidupan seseorang agar terbebaskan dari kesengsaraan yang diderita. Tindakan ini dilakukan terhadap pasien yang tidak memunyai harapan sembuh. Dan secara umum euthanasia diartikan sebagai tindakan mengakhiri hidup seseorang atas dasar kasihan karena menderita penyakit, kecideraan, atau ketidakberdayaan yang tak mempunyai harapan lagi untuk sembuh (the mercy killing of the hoplessly ill, injured or incapacitated).
Dari pengertian pengertian di atas maka euthanasia mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
1. Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu.
2. Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup.
3. Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan.
4. Atas atau tanpa permintaan pasien dan atau keluarganya.
5. Demi kepentingan pasien dan atau keluarganya.

Berdasarkan pada cara terjadinya, ilmu pengetahuan membedakan kematian ke dalam tiga jenis, yaitu:
1. Orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena proses alamiah.
2. Dysthanasia, yaitu kematian yang terjadi secara tidak wajar.
3. Euthanasia, yaitu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak dengan pertolongan dokter.







Kode Etik Kedokteran Indonesia menggunakan euthanasia dalam tiga arti, yaitu:
1. Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, buat yang beriman dengan nama Allah di bibir.
2. Waktu hidup akan berakhir (sakaratul maut), diringankan penderitaan sisakit dengan memberikan obat penenang.
3. Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan pasien sendiri dan keluarganya.

Pembagian Euthanasia
Pembagian Euthanasia berdasarkan hal – hal sebagai berikut :
1. Cara melakukannya :
a. Euthanasia aktif jika tenaga medis baik secara langsung maupun tidak langsung sengaja melakukan tindakan untuk mengakhiri hidup pasien atau melakukan positive act yang secara langsung menyebabkan kematian. misalnya dengan memberikan obat tidur dalam dosis yang mematikan atau tablet sianida atau dengan cara lain yang bertujuan mematikan pasien tanpa menimbulkan rasa sakit. Ini dilakukan pada saat kondisi pasien sudah sangat parah atau sudah sampai pada stadium akhir yang menurut perkiraan medis sudah tidak mungkin lagi bisa sembuh atau bertahan lama, Euthanasia aktif merupakan tindakan yang dilarang, kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat undang-undang.




b. Euthanasia pasif jika tenaga medis melakukan negative act/tidak lagi memberkan atau melanjutkan bantuan medik atau tidak melakukan tindakan apa-apa yang secara tidak langsung menyebabkan kematian. Dengan kata lain: tindakan atau perbuatan “membiarkan pasien meninggal secara alamiah” dengan “tidak melakukan intervensi medis”, berupa tindakan dokter mengurangi pertolongan, penghentian pengobatan ataupun mencabut peralatan yang membantu bertahan hidup pasien menderita sakit akut. Misalnya tidak memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat. Alasan yang lazim dikemukakan adalah kondisi ekonomi pasien terbatas sementara dana yang dibutuhkan cukup tinggi, sedangkan fungsi pengobatan menurut dokter sudah tidak efektif lagi.

2 Orang yang membuat keputusan :
a. Voluntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang yang sakit
b. Involuntary euthanasia, jika yang membuat keputusan adalah orang lain seperti pihak keluarga atau dokter karena pasien mengalami koma medis.

3. Istilah – istilah :
a. Auto-euthanasia, bila pasien secara tegas menolak dengan sadar untuk menerima perawatan medis dan ia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dari penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil atau pernyataan tertulis tangan, Auto-euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
b. Pseudo euthanasia (Prof.Mr.H.J.J.Leenen), yaitu bentuk-bentuk pengakhiran hidup yang bukan euthanasia, tapi mirip dengan euthanasia, yang termasuk dalam penggolongan ini adalah pengakhiran perawatan pasien karena gejala brainstamdeath, keadaan yang bersifat emergency, perawatan medis yang tidak berguna lagi, dan pasien menolak perawatan medis.

Aspek-Aspek Terhadap Authanasia

1. Aspek Hukum.
Euthanasia dalam KUHP dikategorikan sebagai kejahatan terhadap nyawa. Dari sudut pandang hukum menurut Achadiat (2002), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) memang tidak pernah mencantumkan secara eksplisit istilah euthanasia dalam pasal-pasalnya, namun bila dikaji lebih mendalam ternyata beberapa pasal mencakup pengertian itu. sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal KUHP tersebut. Pasal 344 menyebutkan "Barang siapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang disebutkannya dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya 12 tahun". Tersirat dari pasal 334 di atas, yang telah jelas dilarang oleh KUHP adalah euthanasia aktif, dengan atau tanpa permintaan pasien ataupun keluarganya. Pasal 334 dikenal sebagai pasal euthanasia serta Pasal-pasal 338, 340, 345, dan 359 KUHP juga dapat dikatakan bersangkut paut dengan masalah euthanasia.
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Terdapatnya asas lex specialis de rogat legi generalli dalam pasal 63 ayat (2) KUHP, memungkinkan dokter sebagai pelaku euthanasia dijerat dengan pasal 344 KUHP, yang didalamnya harus terpenuhi unsur “atas permintaan sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati”. Bilamana unsur ini mendatangkan kesulitan bagi jaksa, maka alternatif hukum dengan menggunakan pasal 338 KUHP sebagai pasal umum yang mengatur pembunuhan, yang unsurnya hanyalah terjadinya kematian seorang lain akibat perbuatannya Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.
Secara yuridis formal dalam hukum pidana positif di Indonesia hanya dikenal satu bentuk euthanasia, yaitu euthanasia yang dilakukan atas permintaan pasien/korban itu sendiri (voluntary euthanasia). Yang secara hukum merupakan pembunuhan atas permintaan korban, yakni permintaan pasien pada dokter. Bertolak dari ketentuan Pasal 344 KUHP tersebut tersimpul,bahwa pembunuhan atas permintaan korban sekalipun tetap diancam pidana bagi pelakunya. Dengan demikian, dalam konteks hukum positif di Indonesia euthanasia tetap dianggap sebagai perbuatan yang dilarang dan tetap dikualifikasi sebagai tindak pidana, yaitu sebagai perbuatan yang diancam dengan pidana bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Secara formal hukum yang berlaku di negara kita, tidak mengizinkan tindakan euthanasia oleh siapapun (termasuk para tenaga paramedis dan dokter).
Pada pembunuhan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi “ Barang siapa sengaja merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun” dan pembunuhan berencana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 340 KUHP menyatakan “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas nyawa orang lain diancam, karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”. Ketentuan yang dapat digunakan untuk menjerat pelaku euthanasia, yaitu ketentuan Pasal 356 (3) KUHP yang juga mengancam terhadap “Penganiayaan yang dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa dan kesehatan untuk dimakan atau diminum”.
Selain itu patut juga diperhatikan adanya ketentuan dalam Bab XV KUHP khususnya Dalam ketentuan Pasal 304 KUHP dinyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menempatkan atau membiarkan seorang dalam keadaan sengsara, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan, dia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah”.Dan didalam ketentuan Pasal 306 (2) KUHP dinyatakan, “Jika mengakibatkan kematian, perbuatan tersebut dikenakan pidana penjara maksimal sembilan tahun”.
Dalam pandangan hukum, euthanasia bisa dilakukan jika pengadilan megijinkan. Namun bila euthanasia dilakukan tanpa dasar hukum, maka dokter dan rumah sakit bisa dianggap melanggar pasal 345 KUHP, yaitu menghilangkan nyawa orang lain dengan menggunakan sarana. Dari sudut pandang hukum euthanasia aktif jelas melanggar, UU RI No. 39 tahun 1999 tentang HAM, yaitu Pasal 4, Pasal 9 ayat 1, Pasal 32, Pasal 51, Pasal 340, Pasal 344, dan Pasal 359. Di negara kita belum ada hukum yang jelas mengenai euthanasia. Dasar dari penentuan tindakan boleh dilakukan euthanasia atau tidak boleh dilakukan euthanasia adalah pedoman yang dikeluarkan oleh Pengurus besar Ikatan Dokter Indonesia, yaitu Surat Edaran No.702/PB/H.2/09/2004 tentang euthanasia.
2. Aspek Hak Asasi.

Orang yang mengakhiri hidupnya sendiri atau orang lain dengan cara dan alasan yang bertentangan dengan ketentuan agama, seperti pemudahan proses kematian secara aktif (euthanasia aktif) adalah perbuatan bunuh diri secara normatif tidak dibenarkan oleh syara' atau diharamkan dan diancam dengan siksa yang berat, walaupun dari sudut kemanusiaan merupakan hak bagi pasien yang menderita sakit akut (sesuai Deklarasi Lisboa tahun 1981). Sanksi di dunia jika persyaratannya terpenuhi dikenai qishas, kaffarah, atau diyat dan atau di akhirat dengan adzab neraka. Euthanasia pasif diperbolehkan menurut pandangan hukum Islam, sedangkan euthanasia aktif dilihat dari segi kode etik kedokteran, KUHP, dan hukum Islam merupakan perbuatan yang terlarang. Keluarga yang meminta dokter melaksanakan euthanasia aktif dipandang sebagai pelaku pembunuhan yang disengaja oleh karena itu dikenakan hukuman qishash atau diyat. Dokter yang sengaja melaksanakannya atas permintaan pasien ataupun keluarga dipandang sebagai seorang yang membantu pelaksanaan bunuh diri pasien sehingga ikut menanggung dosa atas perbuatannya, meskipun faktor yang mendorongnya adalah rasa kasihan kepada pasien dan bermaksud meringankan penyakitnya atau rasa sakitnya.
Dalam kasus euthanasia memandang sisi bahwa pasien memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri dan mempunyai hak untuk menolak perawatan, hal ini merupakan hak dasar yang tercantum di dalam UU HAM dan UU Kesehatan. Perbuatan sejenis yang menghilangkan nyawa orang lain disamping merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik Kedokteran, Persoalan euthanasia berkaitan erat dengan nilai-nilai budaya bangsa yang sampai sekarang belum dapat diterima kehadirannya dan dinyatakan dilarang dan tetap dikatagorikan dalam pembunuhan atau tindak pidana.
Secara sosiologis, merampas nyawa orang berdasarkan kemauan sendiri juga melanggar hak asasi manusia. Ini sebagaimana diatur pada Tap MPR No XVII/MPR/1998 dan Amandemen UUD 45 Pasal 28 a. Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Mati dihubungkan sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Alasan inilah yang hingga kini dijadikan dasar bagi larangan praktik euthanasia di berbagai belahan dunia (termasuk Indonesia), kecuali di Belanda dan Belgia.

3. Aspek Ilmu Pengetahuan.

Perkembangan tekhnologi yang pesat di dunia madis mengakibatkan para ahli membedakan untuk menentukan kematian seseorang diperlukan kriteria diagnostik yang benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah. Kriteria diagnostik pertama yang dibuat oleh para ahli di bidang kedokteran adalah berdasarkan konsep “permanent of heart beating and respiration is death” apabila denyut jantung dan pernafasannya sudah berhenti secara total, dan para dokter telah menetapkan bahwa hal itu tidak akan pulih kembali. Setelah ditemukannya respirator yang dapat mempertahankan fungsi paru-paru dan jantung maka disusunlah kriteria baru berdasarkan pada kansep “brain death is death”. Terakhir, konsep diagnostik tersebut diperbaiki lagi menjadi “brain stem death is death” apabila seluruh aktifitas otaknya sudah berhenti sama sekali, dan para dokter ahli sudah menetapkan tidak akan pulih, otaknya sudah tidak berfungsi yang dinyatakan dalam surat keputusan Nomor 336/PB/A.4/88 lkatan Dokter Indonesia (IDI)” bahwa seseorang dinyatakan mati apabila fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti (irreversible), atau
apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak”.
Dan menurut syara’, seseorang dianggap meninggal sehingga diberlakukan hukum-hukum syara’ yang berkenaan dengan kematian, apabila telah nyata salah satu dari dua indikasi.

Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan dan segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga akan terseret dalam pengurasan dana.

Menghadapi realita semacam itu maka sangat terasa untuk memasukkan dimensi etis dalam pengembangan ilmu maupun penerapan ilmu dalam kehidupan keseharian. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi etika tidak dapat dipisahkan dengan ilmu itu sendiri. Walaupun dilain pihak ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dapat dan tidak perlu dicegah perkembangannya. Bila kembali pada kebenaran yang menjadi pijakan dalam pengembangan ilmu, serta realitas adanya berbagai macam ilmu, maka setiap ilmu harus dinilai dengan standarnya sendiri. Dalam euthanasia, setidaknya terdapat empat macam ilmu yang terlibat didalamnya yaitu hukum, hak asasi, biologi/kedokteran dan agama, yang pasti masing-masing memiliki standar kebenaran yang berbeda.

Kemajuan teknologi industri di satu pihak dan polusi yang ditimbulkannya merupakan contoh bahwa kemajuan ilmu memiliki dua sisi yang saling kontradiktif. Demikian pula penemuan-penemuan dibidang kedokteran seringkali sangat mudah dilihat sisi positif dan negatifnya, seperti penggunaan bahan dalam anestesi, teknik-teknik pembedahan, fertilitas, euthanasia dan sebagainya. Kenyataan tersebut menunjukkan semakin jelas bahwa ilmu bersifat bebas nilai. Disinilah pentingnya norma dan etika dalam penggunaan ilmu, yang hendaknya menjadi konsensus bagi umat manusia. Lebih lanjut apabila beberapa ilmu harus berperan secara bersama-sama, maka etika yang harus digunakan tentu diutamakan etika yang berlaku bagi masyarakat pengguna ilmu tersebut. Pertanyaannya tentu bagaimana proses keputusan euthanasia harus diambil untuk dapat dilaksanakan tanpa melanggar kebenaran masing-masing, untuk itu tidak ada jalan lain, selain mengikuti kebenaran relatif.

Jadi perkembangan ilmu yang kemudian diujudkan dalam tindakan berkembang dalam kebudayaan manusia serta sekaligus mempengaruhi kebudayaan manusia melalui dua sisi tersebut, pada gilirannya tentu dapat berupa manfaat dan atau bencana. Demikian pula euthanasia dapat hadir diantara manfaat dan bencana yang dilematis.

4. Aspek Agama.
Alasan yang dikemukakan sebagaimana pendapat jumhur ulama dan imam mazhab, bahwa pada prinsipnya mengobati atau berobat hukumnya tidak wajib, alias mubah. Namun, jika sakitnya parah, obatnya berpengaruh, dan ada harapan untuk sembuh sesuai dengan Sunnatullah, hukumnya wajib berobat. Sebaliknya, jika sudah tidak ada harapan untuk sembuh, sesuai dengan Sunnatullah dan hukum sebab-akibat yang diketahui oleh para dokter, maka melanjutkan pengobatannya hukumnya tidak wajib. Dengan kata lain, apabila pasien diberi berbagai macam pengobatan dalam waktu yang cukup lama, tetapi tidak ada perubahan yang cukup signifikan, maka melanjutkan pengobatannya itu menjadi tidak wajib dan tidak pula mustabah, bahkan mungkin kebalikannya (yakni tidak mengobatinya atau menghentikan pengobatannya) itulah yang justru wajib atau sunnah. Kalau seseorang berupaya mengobati penyakitnya maka dapat pula diartikan sebagai upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medispun dapat dipermasalahkan sebagai melawan kehendak Tuhan. Dalam hal hal seperti ini manusia sering menggunakan standar ganda. Hal hal yang menurutnya baik, tidak perlu melihat pada hukum-hukum yang ada, atau bahkan mencarikan dalil lain yang bisa mendukung pendapatnya, tapi pada saat manusia merasa bahwa hal tersebut kurang berkenaan dengan hati-nurani, maka dikeluarkanlah berbagai dalil untuk menopangnya.
Pendapat pemikir Islam kontemporer asal Mesir, Yusuf Qardhawi, dalam bukunya Fatwa-Fatwa Kontemporer (Jilid 2). Ia memang sepakat, bahwa euthanasia aktif yang diistilahkannya sebagai euthanasia positif (taisir al-maut al-af'al), yakni tindakan memudahkan kematian - atas nama "kasih sayang" - yang dilakukan oleh dokter dengan menggunakan instrumen (alat), hukumnya haram. Akan tetapi, memudahkan proses kematian dengan cara pasif (euthanasia pasif), yang diistilahkannya sebagai euthanasia negatif (taisir al-maut al-munfa'il), demikian kata Yusuf Qardhawi hukumnya dapat dinilai sebagai jaiz (boleh), alias tidak haram dan dibenarkan oleh syara’ dengan syarat bahwa kondisi pasien secara medis sudah tidak mungkin disembuhkan, bila phak keluarga menginginkannya dan sepanjang tidak diembel-embeli dengan ungkapan qatl al-rahmah (membunuh karena "kasih sayang") serta bukan karena alasan ekonomi, dokter diperbolehkan melakukannya untuk meringankan beban pasien dan keluarganya. Bila alasannya adalah sebaliknya, maka euthanasia jenis apa pun hukumnya tetap haram. Dalam masalah ini sangat diperlukan informed consent yang baik..
Tafsir al-Maut (euthanasia) secara tegas dan jelas dilarang oleh Islam, pelarangan ini terdapat pada euthanasia aktif / positif (taisir al-maut al-faal) sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisaa’ 93 dan Surat Al-Israa 33. Tindakan euthanasia aktif ini, disamakan dengan pembunuhan dengan kesengajaan, yang mana pelakunya dapat dihukum qishash, sebagaimana hadits Nabi yang berbunyi; “Barangsiapa membunuh dengan sengaja, maka ia harus dihukum qishash”(HR. Ibnu Majjah). Sedang pada euthanasia pasif / negatif (taisir al-maut al-munfa’il), yang merupakan tindakan penghentian perawatan atau pengobatan dalam Islam tidak dilarang, akan tetapi, tindakan penghentian ini haruslah tidak berdasarkan keinginan untuk mempercepat kematian, karena hal itu dapatlah disamakan dengan bunuh diri.
Islam sangat menghargai jiwa, lebih-lebih terhadap jiwa manusia. Banyak ayat Al-Quran maupun hadist Nabi yang mengharuskan untuk menghormati dan memelihara jiwa manusia (hifz al-Nafs), sehingga seseorang tidak diperbolehkan untuk menghilangkan nyawa tanpa alasan syar ‘i yang kuat. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah : 32 yang artinya bahwa siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena berbuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya.

Melakukan tindakan pembunuhan sangat dilarang oleh Islam dan pelakunya pun diancam dengan sanksi yang berat, seperti dijelaskan Allah pada Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 92-93 yang artinya `` Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin yang lain , kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah hendaklah ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (yang terbunuh), kecuali ahli waris membebaskan denda tersebut. Jika yang terbunuh itu adalah kaum yang memusuhimu tetapi dia seorang mukmin, maka si pembunuh harus membebaskan seorang hamba yang beriman. Dan jika yang terbunuh adalah kaum kafir yang mempunyai perjanjian damai denganmu, maka si pembunuh hendaknya membayar diyat yang diserahkan kepada keluarga terbunuh serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Jika pembunuh tidak mampu, dia harus berpuasa dua bulan terus menerus, sebagai wujud taubat kepada Allah. Allah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana (92), Siapa yang membunuh seorang mukmin dengan disengaja, balasannya adalah neraka jahanam, dia kekal disana, kutukan dan laknat Allah terkena pada dirinya, disiapkan baginya siksa yang sangat dahsyat (93).``
Selain sanksi di akhirat, terdapat juga sanksi di dunia seperti firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 45 yang artinya `` Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasannya jiwa dibalas dengan jiwa, mata dibalas dengan mata, hidung dengan hidung dan telinga pun dengan telinga, gigi juga dengan gigi, sedang luka dibalas dengan qishash. Tapi yang melepaskan hak pembalasan sebagai sedekah, maka itu merupakan penebus dosa baginya. Siapa yang tidak menetapkan hukum yang diturunkan Allah mereka itu adalah orang-orang yang zalim.``
Selain alasan-alasan itu, dalam Islam segala perbuatan yang berakibat kematian orang lain dimasukkan dalam kategori jarimah (tindak pidana) yang harus mendapat sanksi hukum. Dalam konteks ini, maka euthanasia bisa dikategorikan sebagai jarimah atau tindakan yang bisa diancam dengan hukuman pidana, dan karenanya, dilarang oleh agama. Dalam hukum pidana Islam (jinayah), pembunuhan hanya boleh (bahkan wajib) dilakukan ketika ditemukan tiga alasan. Yakni: (satu) Pezina mukhsan (sudah berkeluarga) harus dirajam sampai mati; Dua, membunuh dengan sengaja (qatl al-'amd) harus dibunuh juga (qishash);. Tiga, pelaku murtad yang kemudian memerangi Allah SWT dan Rasul-Nya, ia harus dibunuh, disalib, dan diasingkan dari daerahnya. (HR Abu Dawud dan Al-Nasa'i).
Dalam perspektif hukum Islam, memang tidak dikenal istilah tindakan "mempercepat kematian", karena yang berhak mematikan dan menghidupkan manusia hanyalah Allah SWT. Firman-Nya: "Dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan". (QS 10:56) serta Firman-Nya: "Apabila telah datang ajal mereka, maka mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak (pula) mendahulukannya". (QS 12:49). Pembunuhan terhadap orang yang sedang sakit berarti mendahului takdir Allah SWT berarti manusia mengambil hak mutlak Allah yang sudah menjadi ketetapan-Nya. Dari sinilah mayoritas ulama berpendapat, bahwa segala upaya atau perbuatan yang berakibat matinya seseorang, termasuk euthanasia, baik disengaja (qatl al-'amd) atau tidak disengaja (ghair al-'amd), hukumnya haram. Para ahli ahli agama menyatakan secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya.









BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Euthanasia merupakan masalah yang kompleks.
2. Masalah euthanasia belum mempunyai kesamaan sudut pandang antara hak azasi manusia, etika, moral, hukum, ilmu pengetahuan, ekonomi, sosial, budaya dan agama, sehingga masalah ini tidak bisa dipandang hanya dari satu sudut pandang. Euthanasia bisa merupakan kebenaran pada salah satu aspek, tetapi belum tentu merupakan kebenaran pada aspek yang lain bahkan dapat menjadi pelanggaran kebenaran pada aspek lainnya.
3. Dalam euthanasia, setidaknya terdapat empat macam ilmu yang terlibat didalamnya yaitu hukum, hak asasi, biologi/kedokteran dan agama, yang masing-masing memiliki standar kebenaran yang berbeda.
4. Perbedaan antara euthanasia aktif dengan authanasia pasif terletak pada maksud atau tujuan (intention) serta tindakan yang diambil berkaitan dengan kematian pasien tersebut.
5. Ancaman hukuman berat bagi pelaku euthanasia, Sanksi di dunia jika persyaratannya terpenuhi dikenai qishas, kaffarah, atau diyat dan atau di akhirat dengan adzab neraka, apapun alasannya. Perbuatan tersebut dikategorikan dalam pembunuhan atau tindak pidana alasan inilah yang hingga kini dijadikan dasar bagi larangan praktik euthanasia di berbagai belahan dunia (termasuk Indonesia), kecuali di Belanda dan Belgia.
6. Ditegaskan pula dalam Surat Edaran IDI No.702/PB/H2/09/2004 yang menyatakan bahwa “Di Indonesia sebagai negara yang berazaskan Pancasila, dengan sila yang pertamanya adalah Ke Tuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin dapat menerima tindakan “euthanasia aktif”
7. Hukum (pidana) positif di Indonesia belum memberikan ruang bagi euthanasia baik euthanasia aktif maupun euthanasia pasif.
B. SARAN
Agar dilakukan pembicaraan yang serius dalam menangani masalah euthanasia antara jajaran hukum, pihak yang mengurusi masalah etika dan disiplin kedokteran, maupun pemuka agama sehingga dapat menghasilkan peraturan dan batasan yang jelas tentang euthanasia.






















DAFTAR PUSTAKA

Amein fred. Kapita selekta kedokteran. PT Grafitama Jaya: Jakarta, 1991
Poernomo Bambang. Hukum Kesehata: Pertumbuhan Hukum Eksepsial Di Bidang Pelayanan Kesehatan. FK UGM:
Guwandi. Hukum Medik (Medical Low). FKUI: Jakarta, 2004
Tongat, Hukum Pidana Materiil. Djambatan. 2003.
http://tittoarema.blogspot.com/2006/01/euthanasia-persepetif-medis-dan-hukum.html
Kristiantoro, Amb Sigit, Eutanasia, Perspektif Moral Hidup.http://www.kompas.com/kompascetak/0410/15/ilpeng/1325806.htm Jumat, 15 Oktober 2004
http://www.inilah.com/berita/politik/2008/03/21/18807/menggugat-etika-euthanasia
Achadiat, 2002. Euthanasia yang (Semakin) Kontroversial. http://www.tempo.co.id/ medika/arsip/012002/top-1.htmBertens, 2005. Etika, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta








DAFTAR ISI

Daftar isi
BAB I . Pendahuluan
Kasus
BAB II. Pembahasan
A. Sejarah Euthanasia
B. Definisi Euthanasia
C. Pembagian Euthanasia
1. Cara Melakukan Euthanasia
2. Orang yang Membuat Keputusan
3. Istilah-istilah
D. Aspae-aspek Terhadap Euthanasia
4. Aspek Hukum
5. Aspek Hak Asasi
6. Aspek Ilmu Pengetahuan
7. Aspek Agama
BAB III. Penutup
E. Kesimpulan
F. Saran
Daftar Pustaka









TAMBAHAN.
Sehingga dengan hal demikian akan muncul yang namanya euthanasia positif dan euthanasia negative dan berikut adalah contoh-contoh tersebut;1. Seseorang yang sedang menderita kanker ganas atau sakit yang mematikan, yang sebenarnya dokter sudah tahu bahwa seseorang tersebut tidak akan hidup lama lagi. Kemudian dokter memberinya obat dengan takaran tinggi (overdosis) yang sekiranya dapat menghilangkan rasa sakitnya, tetapi justru menghentikan pernapasannya sekaligus.2. Seperti yang dialami oleh Nyonya Again (istri hasan) yang mengalami koma selama tiga bulan dan dalam hidupnya membutuhkan alat bantu pernafasan. Sehingga dia akan bisa melakukan pernafasan dengan otomatis dengan bantuan alat pernafasan. Dan jika alat pernafasan tersebut di cabut otomatis jantungnya akan behenti memompakan darahnya keseluruh tubuh, maka tanpa alat tersebut pasien tidak akan bisa hidup. Namun, ada yang menganggap bahwa orang sakit seperti ini sebagai "orang mati" yang tidak mampu melakukan aktivitas. Maka memberhentikan alat pernapasan itu sebagai cara yang positif untuk memudahkan proses kematiannya.Hal tersebut adalah contoh dari yang namanya euthanasia positif yang dilakukan secara aktif oleh medis. Berbeda dengan euthanasia negative yang dalam proses tersebut tidak dilakukan tindakan secara aktif (medis bersikap pasif) oleh seorang medis dan contohnya sebagai berikut;1. Penderita kanker yang sudah kritis, orang sakit yang sudah dalam keadaan koma, disebabkan benturan pada bagian kepalanya atau terkena semacam penyakit pada otak yang tidak ada harapan untuk sembuh. Atau orang yang terkena serangan penyakit paru-paru yang jika tidak diobati (padahal masih ada kemungkinan untuk diobati) akan dapat mematikan penderita. Dalam hal ini, jika pengobatan terhadapnya dihentikan akan dapat mempercepat kematiannya.2. Seorang anak yang kondisinya sangat buruk karena menderita kelumpuhan tulang belakang atau kelumpuhan otak. Dalam keadaan demikian ia dapat saja dibiarkan (tanpa diberi pengobatan) apabila terserang penyakit paru-paru atau sejenis penyakit otak, yang mungkin akan dapat membawa kematian anak tersebut. euthanasia pasif yang sering terjadi di Indonesia
Alasannya adalah tindakan tersebut menunda pengurusan jenazah dan penguburannya tanpa alasan darurat, menunda pembagian warisan, masa ‘iddah bagi istri dan hukum lain yang terkait dengan kematian. Disamping itu juga berarti menyia-nyiakan harta dan membelanjakannya untuk sesuatu yang tidak berguna, sedangkan hal ini dilarang dalam Islam. Penggunaan alat tersebut juga memberikan mudharat kepada orang lain dengan menghalangi penggunaan alat tersebut kepada yang lebih membutukannya. Islam mengajarkan bahwa yang lebih berhak mengakhiri hidup seseorang hanyalah Allah

Tidak ada komentar: