ASKEP DAN LAPORAN PENDAHULUAN

I. DEFINISI
DHF (dengue haemorhagic fever), adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk aedes aegypty (betina).
DHF (dengue haemorrhagic fever) terdapat pada anak dan orang dewasa dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot, dan/atau nyeri sendi dan tulang yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diatesis hemoragik.
Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga tubuh

II. ETIOLOGI
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam genus flavi virus keluarga flaviviridae. Terdapat 4 serotipe virus dengue, yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3, DEN 4, yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotipe ditemukan di Indonesia dengan DEN 3 merupakan setotipe terbanyak. Serotipe DEN-3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinik yang berat. Virus dengue berbentuk batang bersifat termoragil, sensitif terhadap in aktivitas oleh diatiter dan natrium diaksikolat, stabil pada suhu 700C.

III. PATOGENESIS
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk ini adalah nyamuk rumah yang menggigit pada siang hari. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari (extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembang biak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul.

IV. MANIFESTASI KLINIS
A. Gejala klasik dari demam dengue ialah :
 Demam tinggi mendadak selama 5-7 hari.
 Kadang-kadang bifasik (saddle back fever).
 Nnyeri kepala berat.
 Nyeri belakang bola mata.
 Nyeri otot, tulang, atau sendi.
 Mual, muntah, dan timbulnya ruam.
Ruam berbentuk makulopapular yang bisa timbul pada awal penyakit (1-2 hari ) kemudian menghilang tanpa bekas dan selanjutnya timbul ruam merah halus pada hari ke-6 atau ke7 terutama di daerah kaki, telapak kaki dan tangan. Selain itu, dapat juga ditemukan petekia.
 Diare, konstipasi.
B. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan:
 Leukopeni kadang-kadang dijumpai trombositopeni.
 Pada keadaan wabah telah dilaporkan adanya demam dengue yang disertai dengan perdarahan seperti: epistaksis, perdarahan gusi, perdarahan saluran cerna, hematuri, dan menoragi.
 Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, petechie, echimosis, hematoma.

C. Pada bayi dan anak-anak kecil biasanya berupa:
 Demam disertai ruam-ruam makulopapular.
 Pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, bisa dimulai dengan demam ringan atau demam tinggi (>390C) yang tiba-tiba dan berlangsung selama 2 - 7 hari, disertai sakit kepala hebat, nyeri di belakang mata, nyeri sendi dan otot, mual-muntah dan ruam-ruam.
 Bintik-bintik perdarahan di kulit sering terjadi, kadang kadang disertai bintik-bintik perdarahan di farings dan konjungtiva.
 Penderita juga sering mengeluh nyeri menelan, tidak enak di ulu hati, nyeri di tulang rusuk kanan dan nyeri seluruh perut.
 Kadang-kadang demam mencapai 40 - 410C dan terjadi kejang demam pada bayi.
D. Tanda-tanda terjadi renjatan:
 Sianosis, kulit lemabab dan dingin, tekanan darah menurun, gelisah, capilaary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah.
E. Berdasarkan gejanya DHF dikelompokkan menjadi 4 tingkatan:
Derajat I : Demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas, manifestasi perdarahan hanya berupa uji torniquet positif dan atau mudah memar, trombositopeni dan hemokonsntrasi.
Derajat II : Manifestasi klinik pada derajat derajat I disertai perdarahan spontan dibawah kulit seperti ptekhie, hematoma dan perdarahan dari tempat lain.
Derajat III : Manifestasi klinik pada penderita derajat II ditambah dengan terdapat kegagalan sistem sirkulasi, nadi cepat dan lemah atau hipotensi, disertai kulit dingin dan sembab atau gelisah.
Derajat IV : Manifestasi klinik pada penderita derajat III ditambah dengan renjatan yang berat ditandai tekanan darah tidak terukur dan nadi tidak teraba.
DBD derajat III dan IV digolongkan ke dalam sindrom renjatan dengue.



V. PATOFISIOLOGI
Patogenesis DBD dan SSD (Sindrom syok dengue) masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang banyak dianut pada DBD dan SSD adalah hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologousinfection) atau hipotesis immune enhancement. Hipotesis ini menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi yang kedua kalinya dengan serotipe virus dengue yang heterolog mempunyai risiko berat yang lebih besar untuk menderita DBD/Berat.
Antibodi heterolog yang telah ada sebelumnya akan mengenai virus lain yang akan menginfeksi dan kemudian membentuk kompleks antigen antibodi yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor dari membran sel leukosit terutama makrofag. Oleh karena antibodi heterolog maka virus tidak dinetralisasikan oleh tubuh sehingga akan bebas melakukan replikasi dalam sel makrofag. Dihipotesiskan juga mengenai antibodi dependent enhancement (ADE), suatu proses yang akan meningkatkan infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuklear. Sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut, terjadi sekresi mediator vasoaktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah, sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan syok.
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous infection dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular. Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites).
Hipotesis kedua, menyatakan bahwa virus dengue seperti juga virus binatang lain dapat mengalami perubahan genetik akibat tekanan sewaktu virus mengadakan replikasi baik pada tubuh manusia maupun pada tubuh nyamuk. Ekspresi fenotipik dari perubahan genetik dalam genom virus dapat menyebabkan peningkatan replikasi virus dan viremia, peningkatan virulensi dan mempunyai potensi untuk menimbulkan wabah. Selain itu beberapa strain virus mempunyai kemampuan untuk menimbulkan wabah yang besar. Kedua hipotesis tersebut didukung oleh data epidemiologis dan laboratoris.
Sebagai tanggapan terhadap infeksi virus dengue, kompleks antigen-antibodi selain mengaktivasi sistem komplemen, juga menyebabkan agregasi trombosit dan mengaktivitasi sistem koagulasi melalui kerusakan sel endotel pembuluh darah. Kedua faktor tersebut akan menyebabkan perdarahan pada DBD. Agregasi trombosit terjadi sebagai akibat dari perlekatan kompleks antigen-antibodi pada membran trombosit mengakibatkan pengeluaran ADP (adenosin di phosphat), sehingga trombosit melekat satu sama lain. Hal ini akan menyebabkan trombosit dihancurkan oleh RES (reticulo endothelial system) sehingga terjadi trombositopenia. Agregasi trombosit ini akan menyebabkan pengeluaran platelet faktor III mengakibatkan terjadinya koagulopati konsumtif (KID = koagulasi intravaskular deseminata), ditandai dengan peningkatan FDP (fibrinogen degredation product) sehingga terjadi penurunan faktor pembekuan.
Agregasi trombosit ini juga mengakibatkan gangguan fungsi trombosit, sehingga walaupun jumlah trombosit masih cukup banyak, tidak berfungsi baik. Di sisi lain, aktivasi koagulasi akan menyebabkan aktivasi faktor hageman sehingga terjadi aktivasi sistem kinin sehingga memacu peningkatan permeabilitas kapiler yang dapat mempercepat terjadinya syok. Jadi, perdarahan masif pada DBD diakibatkan oleh trombositopenia, penurunan faktor pembekuan (akibat KID), kelainan fungsi trombosit, dankerusakan dinding endotel kapiler. Akhirnya, perdarahan akan memperberat syok yang terjadi.

VI. PATHWAYS














,














VII. DIAGNOSIS
A. Bentuk klasik dari DBD ditandai dengan :
• Demam tinggi, mendadak 2-7 hari, disertai dengan muka kemerahan.
• Keluhan seperti anoreksia, sakit kepala, nyeri otot, tulang, sendi, mual, dan muntah sering ditemukan.
• Beberapa penderita mengeluh nyeri menelan dengan farings hiperemis ditemukan pada pemeriksaan, namun jarang ditemukan batuk pilek.
• Biasanya ditemukan juga nyeri perut dirasakan di epigastrium dan dibawah tulang iga. Demam tinggi dapat menimbulkan kejang demam terutama pada bayi.
• Bentuk perdarahan yang paling sering adalah uji tourniquet (Rumple leede) positif, kulit mudah memar dan perdarahan pada bekas suntikan intravena atau pada bekas pengambilan darah.
• Kebanyakan kasus, petekia halus ditemukan tersebar di daerah ekstremitas, aksila, wajah, dan palatumole, yang biasanya ditemukan pada fase awal dari demam. Epistaksis dan perdarahan gusi lebih jarang ditemukan, perdarahan saluran cerna ringan dapat ditemukan pada fase demam.
• Hati biasanya membesar dengan variasi dari just palpable sampai 2-4 cm dibawah arcus costae kanan. Sekalipun pembesaran hati tidak berhubungan dengan berat ringannya penyakit namun pembesar hati lebih sering ditemukan pada penderita dengan syok.
• Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, Masa kritis dari penyakit terjadi pada akhir fase demam, pada saat ini terjadi penurunan suhu yang tiba-tiba yang sering disertai dengan gangguan sirkulasi yang bervariasi dalam berat-ringannya.
• Pada kasus dengan gangguan sirkulasi ringan perubahan yang terjadi minimal dan sementara, pada kasus berat penderita dapat mengalami syok.


B. Laboratorium
• Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/mikrol biasa ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. • Hemokonsentrasi yang disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit. • Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh perdarahan. • Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis, limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa ditemukan. • Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. • Fungsi trombosit juga terganggu. • Asidosis metabolik dan peningkatan BUN ditemukan pada syok berat. C. Pemeriksaan Radiologis: • Pada pemeriksaan radiologis bisa ditemukan efusi pleura, terutama sebelah kanan. Berat-ringannya efusi pleura berhubungan dengan berat-ringannya penyakit. Pada pasien yang mengalami syok, efusi pleura dapat ditemukan bilateral. D. Kriteria diagnosis Kriteria diagnosis WHO 1997 untuk DBD harus memenuhi:  Demam atau riwayat demam akut tinggi mendadak, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.  Terdapat minimal satu dari menifestasi perdarahan berikut: • Uji tourniquet positif (> 20 ptekia dalam 1 inci persegi).
• Petekia, ekimosis, atau purpura.
• Perdarahan mukosa, saluran cerna, dan tempat bekas suntikan.
• Hematemesis atau melena.
 Trombositopenia (< 100000/ mm3).  Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakge: • Hematokrit meningkat > 20 % dibanding heamtokrit rata-rata pada usia, jenis kelamin dan populasi yang sama.
• Hematokrit turun hingga > 20 % dari hematokrit awal, setelah pemberian cairan.
• Terdapat efusi pleura, efusi perikard, asites dan hipoproteinemia.

VIII. PENGOBATAN DAN PENATALAKSANAAN
A. Strategi Pengobatan
 Pengobatan DBD bersifat suportif. Tatalaksana didasarkan atas adanya perubahan fisiologi berupa perembesan plasma dan perdarahan. Perembesan plasma dapat mengakibatkan syok, anoksia, dan kematian.
 Deteksi dini terhadap adanya perembesan plasma dan penggantian cairan yang adekuat akan mencegah terjadinya syok, Perembesan plasma biasanya terjadi pada saat peralihan dari fase demam (fase febris) ke fase penurunan suhu (fase afebris) yang biasanya terjadi pada hari ketiga sampai kelima. Oleh karena itu pada periode kritis tersebut diperlukan peningkatan kewaspadaan. Adanya perembesan plasma dan perdarahan dapat diwaspadai dengan pengawasan klinis dan pemantauan kadar hematokrit dan jumlah trombosit.
 Pemilihan jenis cairan dan jumlah yang akan diberikan merupakan kunci keberhasilan pengobatan. Pemberian cairan plasma, pengganti plasma, tranfusi darah, danobat-obat lain dilakukan atas indikasi yang tepat.


B. Pasien Tersangka DBD
Manifestasi perdarahan pada pasien DBD pada fase awal mungkin masih belum tampak, demikian pula hasil pemeriksaan darah tepi (Hb, Ht, lekosit dan trombosit) mungkin masih dalam batas-batas normal, sehingga sulit membedakannya dengan gejala penyakit infeksi akut lainnya. Perubahan ini mungkin terjadi dari saat ke saat berikutnya. Maka pada kasus-kasus yang meragukan dalam menentukan indikasi rawat diperlukan observasi atau pemeriksaan lebih lanjut. Pada seleksi pertama diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta hasil pemeriksaan Hb, Ht, dan jumlah trombosit.
A. Indikasi rawat pasien DBD dewasa pada seleksi pertama adalah:
1. DBD dengan syok dengan atau tanpa perdarahan.
2. DBD dengan perdarahan masif dengan atau tanpa syok.
3. DBD tanpa perdarahan masif dengan:
a. Hb, Ht, normal dengan trombosit < 100.000/µl. b. Hb, HT yang meningkat dengan trombositpenia < 150.000/µl atau normal. Pasien yang dicurigai menderita DBD dengan hasil Hb, Ht dan trombosit dalam batas nomal atau trombosit antara 100000-150000 dapat dipulangkan dengan anjuran kembali kontrol ke poliklinik Rumah Sakit dalam waktu 24 jam berikutnya atau bila keadaan pasien memburuk agar segera kembali ke Puskesmas atau Fasilitas Kesehatan. C. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat Pasien tersangka DBD tanap perdarahan spontan dan masif dan tanpa syok, maka di ruagn rawat diberikan cairan infus kristaloid dengan jumlah seperti rumus berikut. 1500 + (20 x (BB dalam kg-20). Setelah pemberian cairan dilakukan pemeriksaan Hb, Hmt dan trombosit tiap 24 jam.  Bila Hb, Hmt meningakt 10-20 % dan trombosit < 100000 jumlah pemberian cairan tetap seperti rumus di atas tetapi pemantauan Hb, Hmt, trombosit dilakukan tiap 12 jam.  Bila Hb, Mnt meningkat > 20 % dan trombosit < 100000 maka pemberian cairan sesuai dengan protokol penatalaksanaan DBD denan peningkatan Hmt > 20 %.
D. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan Hmt > 20 %.
Meningkatnya Hmt > 20 % menunjukkan bahwa tubuh megnalami defisit cairan sebanyak 5 %. Pada keadaan ini terapi awal pemberian cairan adalah dengan memberikan infus cairan kristaloid sebanyak 6-7 ml/kg/jam. Pasien kemudian dipantau setelah 3-4 jam pemberian cairan. Biar terjadi perbaikan yang ditandai dengan heamtokrit turun, frekuensi nadi turun, tekanan darah stabil, produksi urin meningkat, maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 5 ml/kgBB/jam. Dua jam kemudian dilakukan pemantauan kembali dan bila keadaan tetapi menunjukkan perbaikan maka jumlah cairan infus dikurangi menjadi 3 ml/kgBB/jam. Bila dalam pemantauan keadaan tetap membaik maka pemberian cairan dapat dihentikan 24-48 jam kemudian.
E. DBD dengan perdarahan spontan dan masif, tanpa syok
Perdarahan spontan dan masif pada pasien DBD dewasa misalnya perdarahan hidung atau epistaksis yang tidak terkendali walaupun telah diberi tampon hidung, perdarahan saluran cerna (hematemesis dan melena atau hematoskesia), perdarahan saluran kencing (hematuria), perdarahan otak dan perdarahan tersembunyi, dengan jumlah perdarahan sebanyak 4-5 ml/kgBB/jam. Pada keadaan seperti ini jumlah dan kecepatan pemberian cairan ringer laktat tetap seperti keadaan DBD tanpa renjatan lainnya. Pemeriksaan tekanan darah, nadi, pernafasan dan jumlah urin dilakukan sesering mungkin dengan kewaspadaan terhadap tanda-tanda syok sedini mungkin. Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit serta hemostase harus segera dilakukan dan pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit sebaiknya diulang setiap 4-6 jam.
Heparin diberikan apabila secara klinis dan laboratoris didapatkan tanda-tanda KID. Transfusi komponen darah diberikan sesuai indikasi. Fresh Frozen Plasma (FFP) diberikan bila didapatkan defisiensi faktor-faktor pembekuan (PT dan PTT yang memanjang), Packed Red Cell (PRC) diberikan bila nilai Hb kurang dari 10g%. Transfusi trombosit hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan spontan dan masif dengan jumlah trombosit kurang dari 100.000/mikroliter disertai atau tanpa KID.
Pada kasus dengan KID pemeriksaan hemostase diuiang 24 jam kemudian, sedangkan pada kasus tanpa KID pemeriksaan hemostase dikerjakan bila masih ada perdarahan. Penderita DBD dengan gejaia-gejala tersebut diatas, apabila dijumpai di Puskesmas perlu dirujuk dengan infus. Idealnya menggunakan plasma expander (dextran) 1-1,5 liter/24jam. Bila tidak tersedia, dapat digunakan cairan kristaloid.
F. DBD dengan syok
Kewaspadaan terhadap tanda syok dini pada semua kasus DBD sangat penting, karena angka kematian pada SSD sepuluh kali lipat dibandingkan pasien DBD tanpa syok. SSD dapat terjadi karena keterlambatan penderita DBD mendapatkan pertolongan atau pengobatan, penatalaksanaan yang tidak tepat termasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda syok dini, dan pengobatan SSD yang tidak adekuat.
Pada kasus SSD, ringer laktat adalah cairan kristaloid pilihan pertama yang sebaiknya diberikan karena mengandung Na laktat sebagai korektor basa. Pilihan lainya adalah NaCl 0,9%. Selain resusitasi cairan, pasien juga diberi oksigen 2-4 liter/menit, dan pemeriksaan yang harus dilakukan adalah elektrolit natrium, kalium, klorida serta ureum dan kreatinin.
Pada fase awal ringer laktat diberikan sebanyak 10-20 ml/kgBB/jam (infus cepat/guyur) dapat dilakukan dengan memakai jarum infus yang besar/nomor 12), dievaluasi selama 30-120 menit. Syok sebaiknya dapat diatasi segera/secepat mungkin dalam waktu 30 menit pertama. Syok dinyatakan teratasi bila keadaan umum pasien membaik, kesadaran/keadaan sistem saraf pusat baik, tekanan sistolik 100 mmHg atau lebih dengan tekanan nadi lebih dari 20 mmHg, frekwensi nadi kurang dari 100/menit dengan volume yang cukup, akral teraba hangat dan kulit tidak pucat, serta diuresis 0,5-1 ml/kgBB/jam.
Apabila syok sudah dapat diatasi pemberian ringer laktat selanjutnya dapat dikurangi menjadi 10 ml/kgBB/jam dan evaluasi selama 60-120 menit berikutnya. Bila keadaan klinis stabil, maka pemberian cairan ringer selanjutnya sebanyak 500 cc setiap 4 jam. Pengawasan dini kemungkinan terjadi syok berulang harus dilakukan terutama dalam waktu 48 jam pertama sejak terjadinya syok, oleh karena selain proses patogenesis penyakit masih berlangsung, juga sifat cairan kristaloid hanya sekitar 20% saja yang menetap dalam pembuluh darah setelah 1 jam dari saat pemberiannya. Oleh karena itu apabila hemodinamik masih belum stabil dengan nilai Ht lebih dari 30°/o dianjurkan untuk memakai kombinasi kristaloid dan koloid dengan perbandingan 4:1 atau 3:1, sedangkan bila nilai Ht kurang dari 30 vol % hendaknya diberikan transfusi sel darah merah (packed red cells).
Apabila pasien SSD setelah fase awal pertolongan cairan diberikan kristaloid dan ternyata syok masih tetap belum dapat diatasi, maka sebaiknya segera diberikan cairan koloid. Bila hematokrit kurang dari 30 vol% dianjurkan diberikan juga sel darah merah. Cairan koloid diberikan dalam tetesan cepat 10-20 ml/kgBB/jam dan sebaiknya yang tidak mempengaruhi atau menggangu mekanisme pembekuan darah. Gangguan mekanisme pembekuan darah ini dapat disebabkan terutama karena pemberian dalam jumlah besar, selain itu karena jenis koloid itu sendiri. Oleh sebab itu koloid dibatasi maksimal sebanyak 1000-1500 ml dalam 24 jam. Saat ini ada 3 golongan cairan koloid yang masing-masing mempunyai keunggulan dan kekurangannya, yaitu :
Dekstran
Larutan 10% dekstran 40 dan larutan 6% dekstran 70 mempunyai sifat isotonik dan hiperonkotik, maka pemberian dengan larutan tersebut akan menambah volume intravaskular oleh karena akan menarik cairan ekstravaskular. Efek volume 6% Dekstran 70 dipertahankan selama 6-8 jam, sedangkan efek volume 10°/o Dekstran 40 dipertahankan selama 3,5-4,5 jam. Kedua larutan tersebut dapat menggangu mekanisme pembekuan darah dengan cara menggangu fungsi trombosit dan menurunkan jumlah fibrinogen serta faktor VIII, terutama bila diberikan lebih dari 1000 ml/24 jam. Pemberian dekstran tidak baleh diberikan pada pasien dengan KID.
Gelatin
Haemasel dan gelafundin merupakan larutan gelatin yang mempunyai sifat isotonik dan isoonkotik. Efek volume larutan gelatin menetap sekitar 2-3 jam dan tidak mengganggu mekanism pembekuan darah.
Hydroxy ethyl starch (HES)
6% HES 200/0,5; 6% HES 200/0,6; 6% HES 450/0,7 adalah larutan isotonik dan isonkotik, sedangkan 10% HES 200/0,5 adalah larutan isotonik dan hiponkotik. Efek volume 6%/10°/o HES 200/0,5 menetap dalam 4-8 jam, sedangkan larutan 6% HES 200/0,6 dan 6% HES 450/0,7 menetap selama 8-12 jam. Gangguan mekanisme pembekuan tidak akan terjadi bila diberikan kurang dari 1500cc/24 jam, dan efek ini terjadi karena pengenceran dengan penurunan hitung trombosit sementara, perpanjangan waktu protrombin dan waktu tromboplastin parsial, serta penurunan kekuatan bekuan.
Pada kasus SSD apabila setelah pemberian cairan koloid syok dapat diatasi, maka penatalaksanaan selanjutnya dapat diberikan ringer laktat dengan kecepatan sekitar 4-6 jam setiap 500cc. Bila syok belum dapat diatasi, selain ringer laktat juga dapat diberikan obat-obatan vasopresor seperti dopamin, dobutamin, atau epinephrin. Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID maka heparin. Bila dari pemeriksaan hemostasis disimpulkan ada KID, maka heparin dan transfusi kompunen darah diberikan sesuai dengan indikasi.
Pemeriksaan Hb, Ht dan trombosit dilakukan setiap 4-6 jam. Pemeriksaan hemostasis ulangan pada kasus dengan KID dilakukan 24 jam kemudian sejak dimulainya pemberian heparin, sedangkan pada kasus tanpa KID, pemeriksaan hemostasis ulangan hanya dilakukan bila masih terdapat perdarahan.
Pemberian antibiotik perlu dipertimbangkan pada SSD mengingat kemungkinan infeksi sekunder dengan adanya translokasi bakteri dari saluran cerna. Indikasi lain pemakaian antibiotik pada DBD, bila didapatkannya infeksi sekunder di tempat atau organ lainnya, dan antibiotik yang digunakan hendaknya yang tidak mempunyai efek terhadap sistem pembekuan.

IX. TUMBUH KEMBANG
Pertumbuhan dan perkembangan pada anak dengan DHF yang tidak disertai dengan komplikasi berat tidak mengalami gangguan yang berarti.Tetapi anak perawatan di RS (hospitalisasi) anak dan keluarga akan mengalami stress dan tidak merasa aman. Jumlah dan efek stres tergantung pada persepsi anak dan keluarga terhadap kerusakan penyakit dan pengobatan.

X. KOMPLIKASI
 Sindrom Syok Dengue (SSD)
Pada keadaan yang parah bisa terjadi kegagalan sirkulasi darah dan pasien jatuh dalam syok hipovolemik akibat kebocoran plasma. Keadaan ini disebut dengue shock syndrome (DSS).
Syok biasa terjadi pada saat atau segera setelah suhu turun, antara hari ke 3 sampai hari sakit ke-7. Pasien mula-mula terlihat letargi atau gelisah kemudian jatuh ke dalam syok yang ditandai dengan kulit dingin-lembab, sianosis sekitar mulut, nadi cepat-lemah, tekanan nadi < 20 mmHg dan hipotensi. Kebanyakan pasien masih tetap sadar sekalipun sudah mendekati stadium akhir. Dengan diagnosis dini dan penggantian cairan adekuat, syok biasanya teratasi dengan segera, namun bila terlambat diketahui atau pengobatan tidak adekuat, syok dapat menjadi syok berat dengan berbagai penyulitnya seperti asidosis metabolik, perdarahan hebat saluran cerna, sehingga memperburuk prognosis. Pada masa penyembuhan yang biasanya terjadi dalam 2-3 hari, kadang-kadang ditemukan sinus bradikardi atau aritmia, dan timbul ruam pada kulit. Tanda prognostik baik apabila pengeluaran urin cukup dan kembalinya nafsu makan. Penyulit SSD : penyulit lain dari SSD adalah infeksi (pneumonia, sepsis flebitis) dan terlalu banyak cairan (over hidrasi), manifestasi klinik infeksi virus yang tidak lazim seperti ensefalopati dan gagal hati.
 Perdarahan luas
 Effusi pleura
 Penurunan kesadaran

XI. PROGNOSIS
Infeksi dengue pada umumnya mempunyai prognosis yang baik, DF dan DHF tidak ada yang mati. Kematian dijumpai pada waktu ada pendarahan yang berat, shock yang tidak teratasi, efusi pleura dan asites yang berat dan kejang. Kematian dapat juga disebabkan oleh sepsis karena tindakan dan lingkungan bangsal rumah sakit yang kurang bersih. Kematian terjadi pada kasus berat yaitu pada waktu muncul komplikasi pada sistem syaraf, kardiovaskuler, pernapasan, darah, dan organ lain.
Kematian disebabkan oleh banyak faktor, antara lain :
 Keterlambatan diagnosis
 Keterlambatan diagnosis shock
 Keterlambatan penanganan shock
 Shock yang tidak teratasi
 Kelebihan cairan
 Kebocoran yang hebat
 Pendarahan masif
 Kegagalan banyak organ
 Ensefalopati
 Sepsis
 Kegawatan karena tindakan






BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN



A. PENGKAJIAN
Peningkatan suhu tubuh anak disertai menggigil.
Adanya perdarahan kulit seperti petekhie, ekomosis, hematom, epistaksis, hematemesis bahkan hematemesis melena.
Pada pemeriksaan fisik didapatkah adanya nyeri otot, sakit kepala, nyeri ulu hati, pembengkakan sekitar mata.
Adanya mual, muntah, tidak nafsu makan.
Tanda-tanda syok : denyut nadi cepat dan lemah, hipotensi, kulit dingin dan lembab terutama pada ekstrimitas, sianosis, gelisah, penurunan kesadaran.
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan adanya trombositopenia dan hemokonsentrasi.
Gejala klinis didapatkan :
Derajat I : Demam disertai gejala konstitusional yang tidak khas, manifestasi perdarahan hanya berupa uji torniquet positif dan atau mudah memar, trombositopeni dan hemokonsentrasi.
Derajat II : Manifestasi klinik pada derajat derajat I disertai perdarahan spontan dibawah kulit seperti ptekhie, hematoma dan perdarahan dari tempat lain.
Derajat III : Manifestasi klinik pada penderita derajat II ditambah dengan terdapat kegagalan sistem sirkulasi, nadi cepat dan lemah atau hipotensi, disertai kulit dingin dan sembab atau gelisah.
Derajat IV : Manifestasi klinik pada penderita derajat III ditambah dengan renjatan yang berat ditandai tekanan darah tidak terukur dan nadi tidak teraba.



B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Hypertermi bd. proses infeksi virus dengue
2. Kekurangan volume cairan bd. peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah dan demam.
3. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh bd. mual, muntah, tidak ada nafsu makan
4. Resiko terjadinya perdarahan bd. trombositopenia.

C. INTERVENSI
Dx.1 Hypertermi bd. proses infeksi virus dengue
Tujuan:
Hipertermi dapat teratasi.
Kriteria hasil:
Suhu tubuh dalam rentang normal.
Intervensi:
a. Monitor suhu sesering mungkin.
b. Monitor warna dan suhu kulit.
c. Monitor tekanan darah, nadi dan RR.
d. Monitor tanda-tanda hipertermi.
e. Berikan anti piretik.
f. Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam.
g. Kolaborasi pemberian cairan intravena.
h. Selimuti pasien unuk mencegah hilangnya kehangatan tubuh.
i. Ajarkan indikasi dari hipertermi dan penanganan yang diperlukan.
j. Gantikan pakaian yang telah basah oleh keringat.

Dx. 2 Kekurangan volume cairan bd. peningkatan permeabilitas kapiler, perdarahan, muntah dan demam.
 Tujuan :
Gangganan volume cairan dapat teratasi.

 Kriteria hasil:
Volume cairan tubuh kembali normal.
 Intervensi :
a. Monitor vital sign.
b. Monitor status nutrisi
c. Monitor intake dan output.
d. Pertahankan intake dan output yang akurat.
e. Monitor status hidrasi (membran mukosa) yang adekuat.
f. Monitor hasil laboratorium berhubungan dengan retensi cairan (peningkatan BUN, penurunan hematokrit, dan peningkataan osmolaritas urine).

Dx. 3 Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh bd. mual, muntah, tidak ada nafsu makan.
Tujuan:
Gangguan penurunan pola nutrisi teratasi
Kriteria hasil:
a. Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
b. Intake nutrisi klien meningkat.
Intervensi :
a. Kaji adanya alergi makanan.
b. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori.
c. Timbang berat badan klien tiap hari.
d. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien.
e. Yakinkan nutrisi yang dimakan mengandung tinggi serat konstipasi.
f. Berikan makanan yang terpilih (sudah dikonsultasikan dengan ahli gizi).
g. Anjurkan klien untuk meningkatkan protein dan vitamin C.
h. Berikan kalori tentang kebutuhan nutrisi.
i. Berikan klien makan dalam keadaan hangat dan dengan porsi sedikit tapi sering.
j. Berikan minum hangat bila klien mengeluh mual.
Dx. 4 Resiko terjadinya perdarahan bd. trombositopenia
Tujuan:
Perdarahan tidak terjadi
Kriteria hasil:
Trombosit dalam batas normal.
Intervensi :
a. Kaji adanya perdarahan.
b. Observasi tanda-tanda vital (suhu, nadi, RR).
c. Antisipasi terjadinya perlukaan atau perdarahan.
d. Anjurkan keluarga klien untuk lebih banyak mengistirahatkan klien.
e. Monitor hasil darah, trombosit.




















BAB III
PENUTUP


A. KESIMPULAN
DHF merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui nyamuk aedes aegypty yang terdapat pada anak dan orang dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai ruam atau tanpa ruam.
Penyebab penyakit DBD di Indonesia adalah Virus Dengue tipe DEN 1, DEN 2, DEN 3, dan DEN 4.
Perlu kewaspadaan yang tinggi terhadap penyakit DHF terutama pada musim penghujan.
B. SARAN
1. Gerakan 3 M, tidak hanya bila terjadi wabah tetapi harus dijadikan gerakan nasional melalui pendektan masyarakat.
2. Penangan yang cepat sangat dibutuhkan bagi pasien dengan DHF, agar tidak terjadi komplikasi syok hipovolemik.








DAFTAR PUSTAKA


Hidayat, A.Azis Alimul., 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak.Buku 2.Penerbit Salemba Medika: Jakarta

Hockenberry.Wilson, 2007. Wong’s Nursing Care of Infants And children . Eighth Edition, Mosby Elsevter: Canada

Nadesul, Handrawan., 2007. Cara Mudah mengalahkan Demam Berdarah. Penerbit buku Kompas:Jakarta

Sutaryo., 2004. Dengue.MEDIKA Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada: Yogyakarta

http://nursemedia.info/asuhan-keperawatan-pada-anak-dengan-dhf/

http://www.libang.depkes.go.id/maskes/052004/DEMAMBERBARAH1.pdf